Pengertian MBS
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang
memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada
sekolah, memberikan fleksibilitas/ keluwesan keluwesan kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa,
kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya.), untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan
tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang
ada. (Catatan: MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku).
Otonomi dapat diartikan
sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya
sendiri, kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama
kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus
menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah
(sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya
swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian
yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil
keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat,
kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang
terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dengan otonomi yang lebih besar,
sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengelola
sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah
lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki. Dengan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola
dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Peningkatan
partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, di mana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang
tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk
terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari
pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan
dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika
seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka
yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga
yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk
mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin
besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa
tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar
pula dedikasinya.[1]
0 komentar:
Posting Komentar