Dinamika Kelompok dan Pembimbingan Organisasi


 Definisi dinamika kelompok menurut para ahli: 
  1. Shertzer dan Stone (1981) Dinamika kelompok adalah kekuatan-kekuatan yang berinteraksi dalam kelompok  pada waktu kelompok melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuannya.
  2. Floyd D.Ruch (dalam Gunarsa, 2008) Dinamika kelompok adalah analisa dari relasi-relasi kelompok sosial, berdasarkan  prinsip bahwa tingkah laku dalam kelompok itu adalah hasil dari interaksi yang dinamis antara individu-individu dalam situasi sosial. 
  3. Santoso (2009) Dinamika kelompok adalah suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota yang satu dengan yang lain. 
  4. Benyamin B. Wolman (dalam Rusmana) Dinamika kelompok adalah studi tentang hubungan sebab akibat yang ada di dalam kelompok, tentang perkembangan hubungan sebab akibat yang terjadi di dalam kelompok, tentang teknik-teknik untuk mengubah hubungan interpersonal dan attitude di dalam kelompok. 
  5. Jacobs, Harvill dan Manson (dalam Rusmana) Dinamika kelompok adalah kekuatan yang saling mempengaruhi hubungan timbal  balik kelompok dengan interaksi yang terjadi antara anggota kelompok dengan  pemimpin yang diberi pengaruh kuat pada perkembangan kelompok. 
  6. Johnson (2012) Dinamika kelompok adalah suatu lingkup pengetahuan sosial yang lebih berkosentrasi pada pengetahuan tentang hakekat kehidupan berkelompok.
Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat saya simpulkan bahwa dinamika kelompok merupakan suatu pengetahuan sosial yang menganalisa hakekat aktivitas  berkelompok dalam hubungan antar anggota kelompok, interaksi, saling mempengaruhi dalam situasi sosial dalam kelompok agar mampu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri membangun kelompok dalam satu pencapaian tujuan.[1]

Pengertian pembinaan perilaku organisasi
Istilah pembinaan perilaku organisasi (managing organizational behaviour) pada dasarnya lebih sering dipergunakan dalam praktek pembinaan sumber daya manusia dalam organisasi untuk menggambarkan adanya upaya perubahan perilaku organisasi menuju kondisi yang lebih baik dan lebih positif, yang bertujuan agar perilaku organisasi mendukung tercapainya kinerja pelayanan yang lebih baik secara terus menerus. Dalam tatanan konsep teoritis, istilah yang sering dipergunakan adalah shaping behaviour (Robbins, 2003:59) dan behaviour modification (Dessler, 1986:336).

Istilah pembinaan perilaku organisasi dipergunakan sebagai padanan yang lebih tepat daripada istilah pembentukan perilaku organisasi atau shaping behaviour yang dipergunakan oleh Robbins (2003:39), di mana Robbins mengemukakan bahwa shaping behaviour adalah proses memperkuat secara sistemtis setiap tindakan yang menggerakkan seorang individu lebih mendekati respon yang diinginkan.
Di samping istilah shaping behaviour yang dipergunakan oleh Robbins (2003:59), Dessler (1986:336) menggunakan istilah behaviour modifications (a term that is often used synonymously with operant conditioning) involves changing (modifiying) behaviour throught the use of reward or punishment.

Memperhatikan pengertian yang terkandung dalam behaviour modification yang dikemukakan oleh Dessler (1986:336) ternyata di dalamnya terdapat faktor perubahan perilaku ke arah perilaku organisasi yang dinginkan. Cara atau metode yang digunakan untuk mewujudkan perubahan perilaku organisasi, dan memiliki substansi yang sama dengan shaping behavior menurut Robbins (2003:59), karena sama-sama menunjuk kepada perubahan perilaku organisasi yang diinginkan ke arah perilaku yang lebih positif.
Setelah memahami beberapa faktor yang terkandung dalam pengertian shaping behaviour dan behaviour modification, maka dalam penulisan ini pembinaan perilaku organisasi adalah suatu proses yang terencana untuk mewujudkan perilaku organisasi yang positif dengan berdasarkan formalisasi dalam struktur organisasi dan berpedoman pada norma-norma organisasi yang berlaku.

Proses pembinaan perilaku organisasi.
Sebagaimana pengertian yang dikemukakan oleh Robbins (2003:59) bahwa terdapat proses sistematis dalam pembinaan perilaku organisasi, maka proses sistematis yang dimaksud terjadi dalam tahapan-tahapan yang berurutan, mulai dari penyusunan dan pembentukan kelompok organisasi^dan struktur organisasi, dimana tiap individu membawa serta perilaku masing-masing sampai dengan tahap aplikasi norma dan motivasi dalam pembinaan perilaku organisasi.
Donovan (1994:48-49) mengatakan bahwa proses pembinaan perilaku organisasi dilakukan secara bertahap, dan searah dengan model pengembangan kelompok yang dikenalkan Tuckman, yang mengatakan bahwa terdapat lima tahap dalam pembentukan kelompok yang berkaitan dengan perilaku organisasi, yakni:
Stage 1 Forming
Stage 2 Storming
Stage 3 Norming
Stage 4 Performing
Stage 5 Ceasing

Tahap forming merupakan awal dalam pengembangan kelompok, dan pada tahap awal tersebut, tiap-tiap individu membawa perilaku masing-masing. Pada organisasi yang mudah terbentuk, seperti organisasi Pemerintah Daerah, terhadap forming terjadi dengan sendirinya, mengikuti kelompok yang sudah mapan terbentuk.
Pada tahap selanjutnya, storming, mulai dibentuk pola hubungan antara individu dan antara kelompok dalam satu organisasi. Pada organisasi yang sudah mapan. Tahap storming sebagaimana juga pada tahap forming, tidak lagi menjadi tahap yang secara khusus diperlukan Tahap ke tiga, norming, atau pembentukan norma dan standar dalam perilaku, yang mana pada tahap ini terjadi pembentukan norma, perilaku kelompok, kebersamaan dan keterpaduan. Pada tahap keempat,  performing, telah terbentuk satu kelompok yang telah memiliki standar norma yang kuat tingkat informal yang kuat serta saling mendukung satu dengan lainnya.
Melihat pentahapan pengembangan kelompok dari Tuckman tersebut, ternyata bahwa dalam pembinaan perilaku organisasi, tahap yang paling kritis dan sulit dalam pelaksanaannya adalah tahap norming dan tahap performing, karena pada tahap-tahap inilah terjadi proses intensif dengan mempergunakan metode pembinaan perilaku pegawai, yakni melalui penguatan positif (reward) penguatan negatif (punishment), pelatihan dan pembelajaran.
Dengan mengacu pada pendapat Nigro and Nigro mengenai organizational development (1977:150) maka pembinaan perilaku pegawai merupakan bagian dari proses pengembangan organisasi, sehingga dengan demikian, kegiatan pembinaan perilaku difokuskan pada beberapa bentuk yang searah dengan dan menunjang pengembangan organisasi, yakni:

1) Pembinaan perilaku pegawai saat berhubungan dengan lingkungan, agar                             memberikan pelayanan publik yang murah, mudah, lancar, efisien dan adil, dan sesuai          standar dan prosedur yang telah ditetapkan.
2) Pembinaan perilaku pegawai saat berhubungan dengan sesama pegawai dan                        membentuk satu kesatuan atau kelompok dalam organisasi.
3) Pembinaan perilaku pegawai dalam memahami, menyikapi, dan melaksanakan tugas           pokok organisasi yang tercantum dalam uraian tugas pokok, serta sesuai standar,                 prosedur dan mekanisme organisasi.
4) Pembinaan perilaku pegawai yang kondusif pada saat pegawai berhubungan dengan           organisasi dan melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini             diupayakan agar perilaku pegawai searah dengan tugas pokok dan mendukung                      pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh.

Kerangka dasar untuk pembinaan prilaku organisasi
3.1. Formalisasi dan standarisasi dalam struktur organisasi pemerintah daerah sebagai dasar pembinaan perilaku organisasi
Struktur organisasi merupakan salah satu faktor yang membentuk perilaku pegawai, di samping faktor lingkungan organisasi. Robbins (2003) mengatakan bahwa perilaku pegawai ditentukan oleh pengaturan struktur, posisi yang ditempati, peranan yang dimainkan dalam hubungan organisasi. Posisi pegawai dalam struktur memberi bentuk pada perilaku, begitu juga halnya dengan peranan yang teruraikan dalam uraian tugas. Rivai (2003:303) menggambarkan bahwa karakteristik perilaku pegawai dalam organisasi ditentukan oleh struktur, status hirarki dan peran dalam organisasi. Pendapat lain dikemukakan oleh Wilson (1989:59-69) bahwa dalam organisasi perlu adanya defining task, secara jelas dan terurai dalam struktur organisasi, untuk membentuk perilaku pegawai yang sesuai dengan tujuan organisasi dan mendukung pencapaian tujuan organisasi.

3.2.  Norma organisasi sebagai pegangan dan acuan dalam pembinaan perilaku organisasi Pemerintah Daerah.
Norma dalam organisasi merupakan nilai yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang hidup dan dipergunakan dalam organisasi, agar organisasi berjalan baik untuk mencapai tujuan. Norma organisasi pada dasarnya berisi ketentuan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi agar tidak terjadi konflik dalam kehidupan organisasi.
Norma organisasi bersumber dari nilai-nilai leluhur yang dianut dalam masyarakat. Sebagai manusia ciptaan Tuhan, umat beragama, norma-norma agama tentang hal-hal yang baik dan buruk menjadi dasar kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, budaya yang hidup dan menjadi sumber norma dalam kehidupan organisasi.
Dalam kehidupan organisasi Pemerintah Daerah, norma yang berlaku pada umumnya adalah norma yang mengatur kehidupan disiplin pegawai, pemberian hukuman dan penghargaan, peraturan pembinaan kepegawaian mulai dari rekruitmen, penempatan, promosi dan pemberhentian pegawai mulai dari recruitment, penempatan promosi dan pemberhentian pegawai.
Bagi organisasi Pemerintah Daerah norma-norma yang tertulis menjadi dasar dalam pembinaan perilaku organisasi dan menjadi pegangan dan acuan dalam pemberian reward dan punishment.

3.3. Metode pembinaan perilaku dan tujuan yang ingin dicapai
Dessler (1986:337) mengemukakan adanya dua konsep penting dalam modifikasi perilaku organisasi, yakni mengenai "the types of reinforcement and the schedule of reinforcement". Mengenai the types of inforcement, baik Dessler, (1986) maupun Robbins (2003) sama-sama mengemukakan adanya empat tipe atau bentuk dalam modifikasi perilaku organisasi. Robbins (2003:59) mengemukakan adanya empat cara untuk pembentukan perilaku, lewat penguatan positif, penguatan negatif, pemunahan dan penghukuman. Sedangkan Dessler (1986:337) menyebut positive reinforcement, negative reinforcement, extinction and punishment.
Berkaitan dengan tujuan pembinaan perilaku, Dessler (1986:337) mengemukakan adanya (1) undesired behaviour yakni perilaku yang harus dihindari, dan diberikan hukuman, negative reinforcement, dan punishment, serta (2) desired behaviour atau perilaku yang diinginkan untuk diwujudkan melalui pemberian reward, atau positif reinforcement. Dessler (1986:336) mengatakan pula bahwa behaviour modification dilakukan melalui proses reinforcement, through the use of rewards or punishment. Dalam rangka mewujudkan desired behviorment.
Setelah memperhatikan tipe dengan jenis kegiatan dalam pembinaan perilaku organisasi yang dikemukakan oleh Dessler (1986), Robbins (2003), ternyata bahwa pembinaan perilaku organisasi pada hakekatnya bertujuan mewujudkan perilaku organisasi yang positif melalui reinforcement (penguatan) baik positive reinforcement, serta reward and punishment,disertai dengan pemberian motivasi, penanaman disiplin kerja, pembelajaran dalam kelompok, dan program pelatihan dan mentor dalam organisasi.

Beberapa Bentuk Perilaku Birokrasi yang Negatif
Perilaku yang terbentuk dengan positif, akan mencegah terjadinya berbagai bentuk perilaku yang negatif dalam pemberian pelayanan. Gartson (1993:118) mengatakan bahwa perilaku birokrat ada yang bersifat moral hazard, oleh sebab itu disebut perilaku organisasi yang negatif, dalam bentuk-bentuk yang antara lain principal agent theory, dimana disebutkan bahwa the agent has his/her objectives, which need no correspond to those of the principal. Menurut Gartson, (1993:118), principal dalam pemberian pelayanan publik adalah warga masyarakat, yang memberikan kepercayaan kepada birokrasi untuk melakukan tugas pelayanan, sedangkan agent adalah birokrasi yang bertugas memberikan pelayanan.
Perilaku lain dari birokrasi yang kurang menguntungkan menurut (Gartson (1993:114) adalah adanya biaya transaksi (transaction cost) yang sering muncul dalam pembayaran atau cost dalam pemberian pelayanan publik di luar ketentuan yang telah ditetapkan.

Di samping agent and principal relation dan biaya transaksi, perilaku yang umum dalam organisasi privat dan juga banyak dijumpai dalam organisasi publik adalah gejala bounded rationality (Pfeffer 1992:135). Menurut Pfeffer, bounded rationality adalah gejala terbatasnya pemahaman dari para agent yang berada pada posisi borderline atau bagian dari struktur organisasi yang memberikan pelayanan, terhadap keinginan, perintah atau pengarahan dari pimpinan organisasi, sehingga para agent sering bertindak di luar keinginan pimpinan. Di samping itu Pfeffer mengatakan adanya opportunistic behaviour oleh para anggota organisasi, yang merupakan bentuk perilaku negatif dalam organisasi privat maupun publik.
Hadirnya gejala principal and agent theory, transaction cost, bounded rationality'dan opportunistic behaviour merupakan bukti dari perilaku organisasi yang kurang menguntungkan dalam pemberian pelayanan, dan hal itu dapat dihilangkan dengan proses pembinaan perilaku organisasi.

Peningkatan mutu pelayanan publik pada organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota.
Apabila dikaitkan dengan aspek organisasi dalam pemberian pelayanan sebagaimana dikemukakan oleh Lovelock (1994:179) Zeithaml-Parasuraman-Berry (1990:23) dan De Vyre (2003), maka mutu pelayanan yang lebih baik dapat diwujudkan apabila organisasi dan aparatur pemberi pelayanan mampu memberikan informasi, konsultasi, keramahan, dan perhatian, dengan struktur organisasi yang ditata dan diberdayakan (empowering) agar memberikan respon yang cepat dan diberikan oleh pegawai yan memiliki kompetensi dan perilaku yang positif.

Mengenai gerakan peningkatan mutu pelayanan publik, Milakovick (1995:11) mengemukakan bahwa pada pertengahan tahun 1980-an, para ahli pemerintahan "sounded the alarm by identifying the lack of a consistent model of frame work for managing service as the reason most often citedfor customer dissatisfaction ".
Seiring dengan berkembangnya prinsip reinventing government, dengan mengaplikasikan semangat entrepreneurship ke dalam organisasi publik, maka prinsip customer driven government yang menempatkan masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani dan dipuaskan, maka TQS sebagai suatu strategi dapat diaplikasikan pada organisasi publik, dan proses pemberian pelayanan publik. TQS merupakan suatu strategi yang bersifat komprehensif yang melibatkan semua aspek dalam organisasi. Milakovich (1995:23) mengatakan bahwa: "TQS is not an end in itself, but rather a carefully designed and executed strategy for improving processes, and services through continnual improvements in quality, reliability, sistem and performance ".
Gerakan untuk memperbaiki kualitas pelayanan pada organisasi publik didasari oleh pemikiran yang mendudukkan masyarakat sebagai pelanggan dan konsumen dari public goods dan civil services, dan organisasi pemerintah adalah produser dan provider semua jenis public goods dan layanan civil. Dalam konteks organisasi bisnis, pelayanan yang diberikan kepada pelanggan menentukan kesetiaan pelanggan membeli produk diantara beberapa produser yang menjadi kompetitor. Sedangkan dalam organisasi publik mutu pelayanan organisasi publik menentukan kepercayaan masyarakat terhadap janji yang diberikan pemerintah, sesuai dengan hubungan janji dengan percaya (Ndraha,2003:105).
Milakovich (1995:75) mengatakan bahwa terdapat tiga aspek yang menentukan dalam peningkatan mum pelayanan, yakni : (1) physical surroundings, (2) sistem processes dan (3) human resources. Apabila di implementasikan pada organisasi Pemerintah Daerah, maka dapat dilakukan analog bahwa dalam lingkungan organisasi Pemerintah Daerah otonomi Kabupaten, terdapat beberapa aspek yang sangat menentukan dalam peningkatan mum pelayanan publik, sebagai berikut:
1)   Adanya perangkat-perangkat organisasi Pemerintah Daerah dan unit-unit organisasinya dengan segala kelengkapan kantor dan peralatan yang dibutuhkan, pada posisi dan keadaan yang mudah terjangkau, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2)   Adanya sistem dan proses pemberian pelayanan yang dibangun menyertai dan inherent dalam struktur dan tatalaksana organisasi Pemerintah Daerah.
3)   Adanya sumber daya manusia pegawai yang terlatih dengan ketrampilan dan perilaku yang kondusif untuk memberikan pelayanan publikyang bermutu.

Kaitan antara Ketiga aspek yang dibutuhkan sebagai penentu mutu pelayanan publik tadi pada dasarnya merupakan aspek-aspek utama yang terkandung dalam organisasi Pemerintah Daerah. Aspek yang ke (1) dan (2) merupakan bagian dari penataan organisasi. Itulah sebabnya maka penataan organisasi Pemerintah Daerah dengan penataan sistem dan prosedur pelayanan, serta pembinaan perilaku pegawai merupakan kebijakan yang harus dilakukan dalam peningkatan mutu pelayanan publik pada daerah otonomi Kabupaten.
Formalisasi dalam organisasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dessler (1986:193) dilaksanakan dalam rangka pembinaan perilaku pegawai. Formalisasi menurut Dessler (1986:193) berbentuk (1) Formalization by job, (2) Formalization by work flow, (3) Formalization by rules, dan (4) Formalization by Struktur, Prayudi (1996:108) mengemukakan pula bahwa formalisaasi dilakukan dengan regulasi, dan prosedur, dan standarisasi. Formalisasi juga menyangkut penyusunan uraian tugas pokok dan tugas jabatan dalam organisasi, dan pada akhirnya dapat dikemukakan pula bahwa bentuk formalisasi dalam struktur organisasi akan membentuk proses pemberian perilaku organisasi.

pembinaan perilaku organisasi dengan mutu pelayanan publik
Kualitas pelayanan berkaitan dengan terpenuhinya standar pelayanan dan harapan dan keinginan masyrakat terhadap pelayanan yang mereka terima. Kualitas pelayanan berkaitan pula dengan kepuasan peianggan (masyarakat dalam hal pelayanan publik) terhadap pelayanan yang diberikan. Lukman (1999 :26) menyatakan bahwa mutu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, dan diproduksi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar, sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Menurut Lukman (1999:26) bahwa dalam arti kualitas pelayanan, sudah tercakup {performance, reliability), mudah dalam penggunaan (easy to use), estetika ( esthetics) dan sebagainya.
Lukman (1999:27) menyatakan bahwa secara garis besar, kualitas pelayanan dapat dikaji dari dua aspek, (1) human factor dan (2) non human factor. Hal itu scnada dengan apa yang dikemukakan oleh Milakovich (1995:75) bahwa peningkatan pelayanan publik dapat dicapai apabila tertatanya (I) physical surroundings, (2) sistem processes dan (3) human resources.
Human factor dalam pelayanan publik merupakan aspek utama yang harus ditangani. Sistem processes adalah berkaitan dengan kesiapan aspek sumber daya manusia untuk menjalankan sistem dan proses, pemberian pelayanan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh sumber daya manusia, pegawai dalam organisasi yang memiliki perilaku yang berbeda-beda. Manusia dengan perilakunya, cenderung mencari keuntungan sendiri (opportunitie behaviour), dengan keterbatasan nalar dan pengertian (bounded rationality) serta gejala agent and principle (Pfeffer: 1982) dan Garton (1996).

Berbagai gejala perilaku yang negatif atau perilaku yang tidak sama atau bahkan berlawanan dengan tujuan organisasi dalam pemberian pelayanan publik, harus ditangani melalui pembinaan perilaku organisasi, agar perilaku organisasi yang terbentuk adalah perilaku yang positif, dalam arti perilaku yang mendukung terwujudnya pelayanan publik yang bermutu.

Keberhasilan proses pembinaan prilaku organisasi akan memperkujat budaya organisasi yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan publik pada
Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Kota. Bentuk pelayanan publik pada Pemerintah Daerah lebih banyak bersentuhan dengan perilaku pegawai yang merupakan faktor penentu perilaku organisasi. Oleh sebab itu, terwujudnya perilaku organisasi yang positif akan menentukan baik atau buruknya mutu pelayanan publik pada organisasi Pemerintah Daerah.

Strategi Pembinaan Perilaku Organisasi Pemerintah Daerah
Secara konkrit, pembinaan perilaku organisasi pemerintah daerah dilakukan dengan beberapa kegiatan nyata sebagai berikut :

1.  Memperjelas uraian tugas dalam struktur organisasi atau defining trask, sehingga semua     pemangku jabatan tugas mengerti dan mengetahui tugas pokoknya, tugas pokok orang        lain, arah koordinasi dan integrasi dalam struktur dengan jelas.
2.  Mngembangkan norma-norma organisasi yang hidup dan dipedomani dalam organisasi        ditaati dan eksis dalam intruksi internal organisasi.
3.  Membudayakan nilai-nilai dan norma tersebut, dengan menebarkan prinsip reward and        punishment yang seimbang.
4.  Menciptakan iklim kerja yang memberikan harapan positif dan kondusif yang berfungsi          sebagai aspek motivasi yang kuat.
5.  Membangun pola sistem payment yang berbasis kinerja secara adil dan proporsional            sehingga tercipta rasa keadilan yang berdasarkan bobot tugas birokrasi.
6.  Membangun pola karir yang transparan, fair dan adil yang akan memberi harapan bagi        seluruh aparat birokrasi Pemda untuk meningkatkan proporsionalisme dalam                        pengembangan karirnya.[2]




[1] http://www.maribelajarbk.web.id/2015/04/pengertian-dinamika-kelompok-menurut.html
[2] http://bamzofimagination.blogspot.co.id/2013/05/pembinaan-perilaku-organisasi.html

0 komentar:

Posting Komentar